Oleh : MOH. FATHUL HASAN
#Syahadat#
…dari titik nol itulah semua akan dimulai, dan kembali..
Matahari
berjarak ratusan depa dari tempat Adam berdiri, udara masih sama, masih tetap
malu-malu, datang sesekali, menghembus pelan, sepertinya ragu. Menebarkan angin
dingin tak beraturan, membuat beku kepala, membekukan otak, susah untuk berfikir,
apalagi sekadar berimajinasi. Sulit.
Padahal, konon ada nasehat bijak, di tempat sejuk
seperti inilah aliran darah ke otak menjadi lancar, sebab otak seperti di
re-fresh setiap saat, eh yang terjadi malah terbalik, Sejuk ini telah mengeram
membuat tubuh menggigil. Re- loadnya malah lambat. Muter tapi loading terus.
Lemot, beku dan hampir macet.
Lalu seperti lambatnya waktu, membayangkan jadi
turis bermata biru, dikayuhnya sepeda tua milik ayahnya, kurang lebih seperti
inilah style turis-turis itu, menghayati sepenuh hati kehidupan lokal yang
bersahaja. Menikmati realitas, kesederhanaan hidup yang selama ini hanya mereka
tonton di channel TV dan foto foto art tentang realitas dunia ke tiga. Konon
mereka orang–orang kaya di negaranya, siapa yang peduli? Persamaan kita dengan
mereka cuma satu untuk saat ini, jenuh.
Re-fresh, refreshing.
Diajaknya sepeda tua bertulang belakang itu
keliling bukit, gunung dan Coban, melewati pertigaan dan perempatan, Akhirnya,
setelah beberapa jam hikmahnya mulai dapat, keringat Adam pun mulai keluar.
Menghangat di tengkuk dan ketiak. Lumayan untuk pemanasan olah raga pagi
menjelang siang. Sekadar catatan saja “pagi “ bagi pemuda yang menganggur
menunggu kisah kehidupan yang berlanjut adalah waktu disaat baru bangun dari
tidur, walaupun jam sebelas siang.
Memasuki Kota Wisata Batu, dinginnya mulai terasa,
beda, dingin segar sedikit basah, bukan dingin yang lembab. Terlihat
pemandangan hijau-hijau berdesak-desakan, berjajar rapi dipinggir jalan.
Seperti menyapa para pelancong dari negeri manca, ”Welcome, Sir .” Ramai
sekali.
Dibelokkannya sepeda untuk masuk ke kebun apel
milik Pak Nur Cahyo, dikebun tersebut terlihat seorang petani tua kebun apel
yang istiqomah menjalani pekerjaannya berseni, seni tanam apel dikebun,
maksudnya. Ia terlihat seperti profesor apel bagi seseorang yang baru kenal
atau mungkin bertemu satu kali saja, tak banyak bicara tapi banyak belajar,
mempelajari apel. Sepenuh hati dan fikiran. Hanya ada apel, apel, dan apel di
hidupnya. Itu sebabnya sang istri lebih memilih tinggal di Jakarta menemani
anak semata wayangnya kuliah di UI, kampusnya para pemuda yang ber almamater
kuning, Adam juga pernah beberapa tahun mengenyam pendidikan di ibu kota.
Praktis Pak Nur Cahyo sendirian. Pas, seperti
kisah hidup profesor dalam cerita klasik. Profesor Calculus misalnya.
Re-fresh, refreshing.
Dengan buram, Adam melihat seluruh buah apel
tersenyum riang sembari melambaikan tangan, Merah–merah menyala agak semburat
mengkilat dan kuning menggoda. “Ayo petiklah aku, ambillah aku, jadikanlah aku
menu mu hari ini.”
Imajinasi Adam bergeliat menari. Tak sadar Adam
masuk ke dalam bayang cerita, Adam-Hawa yang tergiur buah di Surga.
Konon di masa dulu yang jauh sekali, pasangan
Adam–Hawa digoda Azazil untuk memakan buah itu, buah yang pantang dimakan penghuni surga , Khuldi
namanya. Rayuan si Azazil sangat ulet, licin dan halus, semenarik iklan di TV,
atau mungkin sehalus strategi politik pemenangan paket MD3 digedung Kura-kura
Nusantara baru-baru ini. Hawa pun luluh dan tergiur, namanya wanita kalau ada
yang kinclong dan mengkilat rasa terus berkecamuk untuk memegang dan kemudian
berharap ingin memiliki, hilanglah larangan dalam kamus besar surga loka versi
Hawa. Hawa melahap dua biji Khuldi, entah kenapa dua-duanya tidak sampai turun
ke perut, tapi malah berhenti di dada, menjadikan tanda di tubuhnya, satu di
kiri dan satu lagi di kanan, kelak dengan tanda itu kita menyebutnya wanita.
Sampai saat ini.
Adam hanya memakan sebiji, itupun juga menjadi
masalah baginya, nyangkut ditenggorokan, berhenti dan tak bisa turun lagi.
Macet. malang tak bisa ditolak mujur tak bisa direngkuh, makan satu sudah
terkena tegur. Maklumat.
Sebenarnya, kenapa Tuhan melarang Adam-Hawa memakan
buah itu?
“Yang jelas,
daripada buah Khuldi masih mending buah apel”, kata Pak Nur Cahyo,
”Kalau dimakan langsung sampai di perut, nggak
pakai nyangkut-nyangkutan, tapi ya harus dikunyah dulu sampai lembut, baru
ditelan, jangan utuh langsung ditelan, sekecil-kecilnya apel juga akan jadi
masalah kalau ditelan utuh, mungkin begitu.”
Iya sih, bisa jadi kemungkinan yang sangat menarik. Mereka menelannya lan-lanan tanpa dikunyah dulu.
Makanan lembut memang baik untuk pencernaan. Dulu
bahkan ada anjuran cara makan yang baik, kunyahlah sampai 30 kali baru ditelan,
menurut teori cara itu yang paling bagus dan dibenarkan buat merawat organ
pencernaan, kalau tidak percaya silahkan dicoba.
Kembali ke cerita Adam Hawa,
Diceritakan, konon Iblis si penganjur makan buah,
sebelum mendapat murka Tuhan, ia adalah malaikat yang paling taat, yang paling
berbakti, juga paling berbakat. Maka diantara semua malaikat, ia jadi primadona
dan paling sakti. Karena kelebihannya itulah, pada suatu masa, saat dunia
mengalami krisis kepemimpinan, alias membutuhkan pemimpin, Tuhan berkenan
memberikan kuasa, menjadikannya penguasa dunia, waktu itu. Sebagai hadiah dan
anugerah, nikmat Tuhan yang diberikan
kepada hambanya yang sangat disayangi.
Namanya masih Azazil, belum berubah menjadi Iblis.
Begitulah nama yang tertera di Surat Perintah dan surat keputusan dari Tuhan,
pada masa itu.
Sebagai pemimpin dunia yang baru, pemimpin langit
tujuh lapis, ia sangat menikmati anugerah besar
itu. Sungguh, pemberian mandat yang luar biasa baginya. Hobinya
mengembara seperti mendapat angin segar, restu dari Tuhan. Hari-harinya
dihabiskan untuk berkelana, travelling
memeriksa semua celah langit. Banyak hal baru yang ia dapatkan dan pelajari.
Tak berbilang sudah jumlah tempat yang sudah dia jamah. Begitulah, betah
berlama-lama di satu tempat. Berpetualang sampai lupa pulang. Krasan.
Lalu Tuhan berkenan menciptakan Adam, makhluk baru,
dari tanah tujuh rupa yang diambil dari bumi, melalui perantara malaikat
Izrail, kelak karena sukses menjalankan tugas inilah, Izrail mendapat mandat
Tuhan, bertugas mengambil nyawa manusia sampai hari kiamat nanti. Bergelar,
malaikat pencabut nyawa. Seram sekali, padahal tidak dicabut, tetapi dielus-elus
diajak meneruskan kembara suci di alam lain.
Di kejauhan sana, dalam pengembaraannya, Azazil
mendengar kabar ini. Dan seperti malaikat yang lain, Azazil pun mendapat titah untuk sujud bakti menyembah
Adam, pada mulanya.
Hari itu Jum’at, hari Pisowanan
Agung, hari kegembiraan bagi semua
makhluk. Prosesi penciptaan Adam telah sempurna, sesuai ketetapanNya. Semua
malaikat diperkenankan melihat dan memeriksa , termasuk Azazil. Rata dan sama,
semuanya kagum. Adam memang berbeda.
Lalu, datanglah saat dramatis dan haru itu. Azazil
mendapat murka Tuhan. Tak lagi patuh,
sebab tak mau sujud. Padahal Adam sudah berdiri di depannya. Entah apa
alasannya, hanya dia yang tau.
Pembangkangan yang dilakukannya berakibat amat
fatal. Azazil berubah menjadi Iblis. Dijuluki Iblis Laknat. Semua kejelekan
mewujud pada dirinya saat itu juga. Tanggal sudah semua gelar yang baik.
Seumpama jatuh masih tertimpa tangga. Sudah jelek terbuang pula. Lengkaplah Bendhunya Tuhan.
Sebagai penikmat cerita, kita hanya bisa
menebak-nebak, dengan ratusan bahkan ribuan argumentasi. Mungkin, ada benarnya
juga kalau Iblis menolak untuk menyembah Adam, karena Iblis tahu kalau Adam
tidak berhak disembah,
Atau juga iblis merasa, nantinya pasti akan tersisih, karena ada rival baru.
Tidak lagi di anggap. Sesuai hukum alam, ciptaan ter -update pasti lebih
menarik.
Tak ada yang tau kenapa begitu, kita hanya menebak,
yang baru lebih sempurna. Iblis cemburu dengan kesempurnaan itu. Apakah
sesederhana itu?
Re-fresh, refreshing.
Dinginnya kota ini bukan main-main, walaupun sebenarnya pasti main-main. Lawong kita hidup
didunia hanya main-main, Addunya
mata’ul ghurur, menipu, tipuan belaka. Atau
dengan kata lain, senda gurauan saja, kenapa harus serius. Toh Azazil sudah
menjadi Iblis bermarga Laknat. Kisah klasik Adam–Hawa dari perspektif Iblis
terlanjur tidak menarik. Iblis, apa menariknya coba?
“Ayo sambil dimakan apelnya.” selesai Pak Nur Cahyo
mengupas sebiji, ditaruhnya dipiring, rupanya diberikan untuk Adam.
Re-fresh, refreshing.
Seperti tombol pause yang dipencet, disknya
berhenti berputar, silahkan dipikir-pikir dulu yang barusan ditonton,
ditimbang-timbang dulu sebelum film berlanjut.
Atau mau ke kamar kecil dulu, silahkan.
“Maaf pak,
boleh saya membeli apel sedikit saja,” Tanya Adam sambil memulai memakan apel
kupasan.
“Iya, boleh.
Silahkan, malah kalau beli ke petani langsung seperti ini, harganya lebih murah
Nak, tapi kalau sudah keluar kebun dan masuk label kelas atas, jangan tanya
lagi selisih harganya.” Sambut balik Pak Nur Cahyo.
Dengan sigap
tangan Adam memetik buah apel, merah kekuning-kuningan. Semburat.
“ Mau berapa
kilo?”
“ Tiga kilo
saja pak jangan banyak-banyak.”
Sebentar
kemudian, apel sudah terbungkus masuk dalam tas plastik.
“Pak kalau
boleh tanya, apa sebab apel tanaman
bapak buahnya segar dan ranum?”
“
Sering-seringlah melakukan sedekah bumi, maka bumi pun akan menjagamu.”
“Maksudnya?”
“Tuhan akan
memberikan anugerah tak terhingga jika kita senantiasa berbaik dengan alam,
apel yang kemarin masih berwarna hijau pekat sekarang sudah memerah, tadi malam
mungkin ada tim kerja ahli yang mengecat semprot apel-apel ini, kalau bukan
Tuhan, siapa lagi?”
“Apakah
surga yang akan dijanjikan Tuhan seperti kebun yang kita pijak ini kira-kira?
Kanan-kiri sejauh mata memandang hanya kesejukan yang terlihat.”
“Saya belum
pernah ke surga yang kamu maksud Nak, tetapi kalau kita memang diciptakan
disurga pasti kita akan kembali ke asal mula dimana kita dicipta. Kecuali yang
tersesat jalan, pasti akan kebingungan untuk menemukan jalan untuk berpulang.
Tak akan bisa kembali. Kecuali dengan kuasa Tuhan menyelamatkan.”
“Iblis
maksud bapak?”
“Semuanya,
siapapun itu. Iblis yang sering di umpat dan dicemooh orang sebenarnya dahulu
adalah mahluk yang taat, mahluk yang sangat patuh dan tunduk, karena
kesombongan yang merasuk menjadi sumber murka dari sang kuasa.”
“Apakah hanya dengan tidak mau sujud kepada
Adam lantas Iblis dilaknat oleh Tuhan, sesederhana itukah drama surga yang
terjadi pada saat itu? Terbesit hatiku iba kepada Iblis, karena dengan satu
kesalahan saja ia tak terampuni selamanya.”
“Itu semua amrun rabbani (urusan tuhan) hak
prerogratifNya, kita tidak berhak menuntut apapun akan kuasa Tuhan.”
“Apakah
tidak ada setitik nila kebenaran dalam belanga Iblis? Padahal dalam setiap hal
terdapat sisi baik dan buruk, di kebaikan itu ada kejelekan pula, di kejelekan
sebenarnya ada kebaikan.”
“Semua yang
diciptakan Tuhan hanya diperintah untuk menyembahNya, tidak lebih dan tidak
kurang. Jin dan manusia diciptakan juga di perintah untuk menyembah pula.
Manusia memiliki dua sisi, Jin pun juga seperti itu. Jin dan Setan merupakan
satu peranakan yang kemudian membiak dan terbelah menjadi dua. Tetapi apapun
itu dua hal yang berbeda tidak perlu kita risaukan, karena adanya sisi yang
satu disebabkan adanya sisi yang lain. Pada akhirnya nanti kamu tidak akan
mempersoalkan perlawanan tersebut, hitam putih, benar salah,semuanya adalah
wujud dari keseimbangan.”
“Apakah kita
tidak berkewajiban menjadi baik? Sedangkan dua sisi tersebut senantiasa hadir
diantara kita. Iya memang ,beberapa orang sering mengatakan ada Jin yang patuh
dan ada yang ingkar, lalu kalau boleh tau ,siapa saja yang patuh dan siapa saja
yang ingkar?”
“Iya, kita harus senantiasa menuju kebaikan untuk
mendapat ridhoNya, tetapi mahkamah tertinggi akan kuasa tetap akan diputuskan
oleh Tuhan, Ana
urid wa anta turid, wallahu fa’alul lima yurid, saya berkeinginan kamu berkeinginan, tetapi Tuhan
maha berkehendak. Nenek moyang Jin yang pertama yaitu Marijan dan Marijah,
mereka memiliki sekitar 64 keturunan yang akan menjadi moyangnya Jin, yaitu Maeijo, Jan, Banujan, Ijajil,
Karis, Ajalijin, Handajali, Ijajil, Yalabur, Pasin, Akwari, Nulestri, Marah,
Sahet, Dasim, Welahan, Jalabur, Dajal, Dajil, Senut, Nun, Dulilsutanira, Dubil,
Ditblas, Lallal, Lalim, Jalarat, Buldet, Sarhas, Mihsat, Hamarah, Hawiyan,
Langin, Biktab, Distar, Balal, Hambal, Kibrat, Ifrid, Ifrus, Karisiyan, Swino,
Dipil, Milasar, Asijasin, Karis sarah,
Karis sarah, Astarus, Buldyat, Dulya
larat, Duwanar, Buwanarjas, Salahat, Bangan, Bangal, Yayal, Jahil, Sarbun,
Sarbudanar, Mungajal, Maksum, Malrat, Mallarabad, Raja Sarabad/saraban. dan 55 keturunan yang menjadi moyang nya setan,
yaitu Ijajil,
Handajali, Ajali, Ajali, Aljus, Ajrak, Ajurak, Damras, Haswat, Amman, Maheran
(masuk Islam ikut Nabi Nuh), Sabah, Sahlil, Sajab, Katlabat, Ngatis, Kadngan,
Latbiyan, Sarsar, Aswas, Dadjah, Hajali
(lahir sehari setelah lahirnya Nabi Yusuf), Gajali (masuk Islam) Alidat,
Janabar (kalah perang dengan Ifrid), Salmun, Salmusil, Aswasil, Karmus,
Salmunasar, Sarngam, Jabarjus (masuk Islam ikut Nabi Sulaiman dengan syariat
nabi Musa), Asngasar, Bastam, Kasras,Inrus, Kanam, Sarkasi, Girkasi, Kabiras,
Giraji, Damriyat (masuk Islam syariat Nabi Isa), Memum, Mursad, Sangkan,
Marikan, Karissatir, Kalbal, Kaskanijan, Aswasil, Sanasil, Kalbat, Dawisatir,
Tiyruyasar, Prabu Tamimasar. Kepatuhan dalam arti sesungguhnya masih menjadi
pertanyaan bagiku juga, apakah dengan pengerdilan nama dan sifat yang melekat
pada setiap mahluk juga sebuah ketaatan. Maka hanya Tuhan dan mahluk tersebut
yang mengerti sebatas mana kepatuhan yang telah ia laksanakan.”
“Bagaimana
kita akan senantiasa beribadah dengan sangat patuh tunduk serta ikhlas jika
banyak godaan yang akan menggoyahkan keimanan kita?”
“Apakah kamu
hanya menyadari akan gangguan dari luar? Padahal di dalam diri kita tersimpan
dan mampu menjadi berbagai figur. Tanyalah dirimu sendiri, manakah identitasmu
yang sebenarnya? Tunggal ataukah jamak? Seperti di pergelaran wayang, kamu akan
melihat ribuan sosok figur yang siap sedia turun gelanggang, bukan kita yang
akan memilih salah satu tapi semuanya ada dalam diri kita. Itu semua adalah
perlambang, agar kita menyaksikan siapa diri kita. Dan yang terpenting melihat
siapa pencipta kita. Man ‘arafa nafsahu ‘arafa rabbahu, yang mengenal dirinya akan
mengenal Tuhannya. Jangan berlomba-lomba untuk berteriak kafir sana kafir sini,
kenalilah dirimu dulu kemudian kamu akan mengenal Maha Pencipta, maka tidak
akan ada sedetik waktu pun yang akan sempat berfikir mencela maupun mencari
kekurangan orang lain, sebaiknya orang yang kebingungan mencari makan untuk
hari esok itu lebih pantas dikafirkan, karena sama saja dengan merendahkan
kuasa Tuhan. Kita semua sedang mencari jalan untuk kembali, jangan sampai kita
tersesat sehingga tidak bisa hadir disaat pisowanan agung kelak.”
“Bagaimana
kita bisa menyaksikan Tuhan?”
“Dengan
mengenali dirimu, mencari asal mulamu, menyaksikan apapun yang akan menambah
keimananmu, sebab,segala yang telah diberikan dalam kehidupan ini adalah tempat
kita untuk bersaksi, semuanya menjadi alat kita untuk menyaksikan Dia.
Semilirnya angin, berjalannya zat klorofil, mengepulnya awan, dan tangisan
getah dari pinus akan menjadikan kita tebal dalam beriman. Syahadat lah dengan
penuh penglihatan yang nyata.”
“Kalau dunia
ini ibarat geber wayang, disana ada pergelaran wayang, terdapat wayang yang
jumlahnya seabreg-abreg lengkap dengan dalangnya juga,
menurut bapak kita itu yang mana pak? apa kita wayang, dan Tuhan dalangnya?, dimana posisi Tuhan?”
“Siapa yang
paling hebat menurutmu? Dan siapa yang paling lemah dalam posisi tersebut?”
“Dalang
paling hebat. Bisa membuat apapun yang ia mau. Wayang hanya menjadi boneka
mainan, seiap waktu harus siap jika dibenturkan dengan apapun,”
“Berarti apa
kesimpulanmu Nak?”
“Manusia
wayang, Tuhan dalang. Kalau bapak seperti apa kesimpulannya?”
“Apakah
tidak ada yang lebih hebat dari sekadar dalang? Apakah dia paling berkuasa atas
terselenggaranya drama pada malam itu, apakah setiap waktu dia bisa mengadakan
pergelaran, di setiap tempat bisa melakonkan tragedi, apakah tidak ada batas
waktu dan batas kemampuan dari dalang? Dia datang karena di undang, dia
mengabarkan lakon karena ada yang memesan, di memulai adegan karena sudah
dipersilahkan, dia berhenti karena jatah waktu yang diperuntukkan baginya telah
selesai, sesuai perjanjian di awal, MOU sebelum acara di malam tersebut sudah
ditanda tangani, segala kesepakatan sudah di mengerti. Dia hanya melakukan apa
yang akan disuruh, dia hanya mengikuti apa yang telah disepakati.”
“Maksudnya
bagaimana?”
“Kamulah
dalangnya, kamulah yang akan menjalankan berbagai tragedi tersebut, karena kamu
sudah menanda tangani nota kesepakatanmu diawal sebelum acara dimulai,
jauh-jauh hari sebelum tanggal dan waktu pelaksanaan ditentukan. Kamu sudah
meng iya kan, kalau kamu menolak pasti tidak akan terjadi pergelaran tersebut.”
“Kalau
seperti itu, lalu siapa Tuhannya?”
“Yang lebih
kuasa dari sekadar dalang, kamu tinggal menggarap setiap lakon sesuai
perjanjian.”
“Bagaimana
saya akan melakonkan pergelaran jika saya lupa naskahnya?”
“Apakah
naskah drama selalu berbeda dan berganti? Dari babad alas, goro-goro, sampai
tutup gunungan apakah ada perubahan. Siklus kehidupan tak akan pernah berubah.
Apapun yang sekarang terjadi, dulu juga terjadi, perputaran itu tetaplah pasti.
”
“Setiap
zaman kan berbeda, setiap tempat tidaklah sama.”
“Apakah
tepung beras, nasi, dan bubur mengaburkan pandanganmu.? Apakah kesemuanya
tidaklah sama belaka. Apakah guna dari keimanan yang akan kau tampakkan.”
Sembari
duduk dan menundukkan kepala, dia masih belum bisa menerima apa yang kesemuanya
disampaikan oleh Pak Nur Cahyo, seakan doktrin dan segala dogma yang selama ini
memenuhi kepala terlepas dengan cangkang yang bernama tengkorak. Tubuhnya lemas
melunglai, layu tersapu angin. Sesekali tatapannya menyeruak masuk kedalam
kebun, seakan-akan ada yang menyelinap mengintip. Secara sadar matanya pun
menatap Pak Nur Cahyo yang masih seperti awal bertemu, membersihkan buah Apel
yang telah berhasil dipanen pagi itu.
“Umurku tiga
kali lipat umurmu Nak,”
Suara itupun
segera memecah keheningan diri Adam,
Kalau kalau fikiran ini
beku......
Kemana akan mengadu.......
Kalau kalau hati ini keras
seperti batu.....
Pastilah asa dan harapan menjadi
semu....
Beruntunglah yang masih punya
nurani....
Cahayanya senantiasa memancar
ditengah-tengah keheningan sunyi....
Adam merasa
terpenjara dalam kesunyian, tak bisa satu langkah pun membuat dirinya keluar
dari jeruji bayangnya. Ketakutan demi ketakutan pun menumpuk, akankah dia
sanggup kembali kehadirat ilahi sesuai janji, ataukah akan tersesat dalam jalan
yang akan ditempuh dalam kurun waktu yang tidak bisa ia tentukan. Bagaimana ia
akan dipermalukan dan disidang dalam hari penghitungan amal kelak, seberapa dia
merasa telah dekat melihat Tuhannya.
Awal mula
pertemuannya dengan Pak Nur Cahyo tak pernah disangka akan berubah menjadi
pengalaman tak terlupakan. Dia hanya menyangka bahwa seorang petani kebun Apel
hanya seorang manusia layaknya petani lumrah yang memiliki pengetahuan sebatas
bercocok tanam serta mengairi pesawahan dengan rutin, atau sebisa mungkin
menjaga dan memastikan tumbuhannya tidak terserang hama tanaman. Ternyata
praduga tersebut telah ditepis oleh percakapan ringan yang membuat mata Adam mblalak dan hidungnya seperti dicocok
oleh tali layaknya kerbau dan sapi yang setiap hari giat membantu pak tani tanpa
menghiraukan benda apa yang melilit lubang bernafasnya.
Semoga saja kita tidak menjadi
tokoh "burung hantu" dalam hikayat burung hantu yang mengingkari
matahari pada siang hari.
Tentang Penulis
Fathul H.Panata Pradja, lahir di Blitar 30 Desember
1990, pernah nyantri di PP.Mambaur Rahmah, PP.Mambaul Hisan, PP. Mambaul
Hidayah, ketiganya di Blitar. Pernah nyantri di Surya Alam Sembon Durenan-Gunung
Kawi-Malang. Nyantri tabarukan di PP.
Ma’hadul Ulum as-Syar’iyah (MUS), PP. Mahjar Al-Amin, PP. Al-Anwar, ketiganya
di Karangmangu-Sarang-Rembang. Sekolah dasar hingga menengah tingkat atas
diselesaikan di Blitar, ketika sekolah menengah tingkat atas mengambil jurusan
Bahasa, sering melakonkan drama bersama komunitas Sastra Indonesia. Pernah
kuliah di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang jurusan Bahasa Arab. Selama kuliah
pernah aktif di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, pernah mendirikan
kelompok studi “SEMBURAT” bersama para mahasiswa yang pesimis dengan ujung
jalan masa depan yang tak tentu, juga kondisi zaman yang berubah-ubah. Selama
mahasiswa sering menulis opini, cerpen, esai lepas di kolom pers mahasiswa,
antara lain: Wayang filsafat kewalian, Tahta Cleopatra yang seksi,
Sanggul Dewi Arimbi, Sebuah ketidak relaan;kasta yang berjarak, Ikatan
Cendekiawan Bersarung, Suluk Ringin Sungsang, Mendayung di lautan lepas, Dwi
Tunggal;manunggaling rakyat dan pemimpin.
Bersama para Rohaniawan Lintas Iman Kota Malang
baru saja menerbitkan sebuah karya Kidung Damai “Menyapa semesta dengan cinta” (Aura Pustaka, maret 2014)
Sekarang aktif sebagai aktivis di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan sedang mempersiapkan Antologi Puisi candu, juga mempersiapkan penelitian
dan naskah untuk karya selanjutnya Kabar Burung.
Bertempat tinggal di Perum Joyogrand Blok CC No.19,
Merjosari, Lowokwaru, Kota Malang. Hp 085736484291, facebook Fathul Panata
Praja, email panatapraja@gmail.com.
0 komentar :
Posting Komentar